Minggu, 22 Mei 2011

Masturbasi

1.      PENGERTIAN MASTURBASI
Masturbasi, onani, rancap adalah perangsangan seksual yang sengaja dilakukan pada organ kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Perangsangan ini dapat dilakukan tanpa alat bantu ataupun menggunakan sesuatu objek atau alat, atau kombinasinya. Masturbasi merupakan suatu bentuk autoerotisisme yang paling umum, meskipun ia dapat pula dilakukan dengan bantuan pihak (orang ) lain.
Onani, masturbasi, coli, main sabun, dan lain-lain, merupakan satu istilah untuk menyatakan kegiatan yang dilakukan seseorang yang masih muda dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan tangan maupun dengan menambah alat bantu berupa sabun atau benda-benda lain, sehingga dengannya dia bisa mengeluarkan mani dan membuat dirinya lebih tenang.
Istilah Onani sendiri, berasal dari kata Onan, salah seorang anak dari Judas, cucu dari Jacob. Dalam salah satu cerita di Injil, diceritakan bahwa Onan disuruh oleh ayahnya ( Judas ) untuk bersetubuh dengan istri kakaknya, namun Onan tidak bisa melakukannya sehingga sampai puncaknya, dia membuang spermanya ( mani ) di luar ( di kemudian hari tindakan ini dikenal dengan istilah azl ( dalam bahasa Arab ) atau coitus interruptus ( dalam istilah Kedokteran ). Dari cerita Onan ini terdapat dua versi. Ada yang berpendapat bahwa Onan berhubungan badan dengan istri kakaknya lalu membuang maninya di luar. Dan ada juga yang menyebutkan bahwa Onan tidak menyetubuhi istri kakaknya, melakukan ia melakukan pemuasan diri sendiri ( coli ) karena ketidak beraniannya untuk menyetubuhi sedangkan birahi di dada semakin memuncak, sehingga dari perbuatan Onan ini lahirlah istilah Onani sebagai penisbahan terhadap perbuatannya.
2.      HUKUM MASTURBASI
Permasalahan onani/masturbasi ( istimna’ ) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama’. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut;
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh
Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:

سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad rahimahullahu memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Mengenai hukum onani/masturbasi, sebagian besar ulama mengharamkannya. Sebagian ulama seperti Imam Hanbali dan Ibnu Hazm menghalalkanya. Sedangkan ulama-ulama Hanafiah membolehkannya dalam keadaan “takut berbuat zina” dan “tidak mampu kawin”.
Masalah ini memang menjadi perdebatan di kalangan ulama’. Ada yang menganggap makruh seperti Ibnu Hazm dan ada yang menganggap haram, yakni mayoritas ulama’. Alasan Ibnu Hazm berpendapat makruhnya adalah karena menyentuh kemaluan dengan tangan kiri adalah boleh. Dan tidak ada pembatas tentang bolehnya menyentuh kemaluan dengan tangan kiri itu. Meskipun demikian, kemudian Ibnu Hazm mengatakan bahwa hukumnya makruh, karena masturbasi adalah tindakan tercela.
Adapun Ibnu Hazm al-Andalusi adalah ulama’ yang dikenal sebagai ahlu dhahir, artinya memahami dalil-dalil hanya berdasarkan dhahir ayat atau hadist saja. Karena itu pendapat Ibnu Hazm ini menjadi asing di kalangan para ulama’.
Pendapat yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama’, yaitu haram. Kesimpulan ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Artinya :
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mukminun;5-7).
Ayat di atas menjelaskan kewajiban seorang mukmin untuk memelihara kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan Allah. Adapun yang dihalalkan oleh Allah adalah melakukan hubungan dengan istri atau budak. Di luar itu termasuk ke dalam kategori ‘adun ( melampaui batas atau maksiat ). Melakukan masturbasi termasuk ke dalam tindakan ‘adun.
عن أنس بن مالك، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “سبعة لا ينظر الله إليهم يوم القيامة، ولا يزكيهم، ولا يجمعهم مع العاملين، ويدخلهم النار أول الداخلين، إلا أن يتوبوا، فمن تاب تاب الله عليه: ناكح يده ، والفاعل، والمفعول به، ومدمن الخمر، والضارب والديه حتى يستغيثا، والمؤذي جيرانه حتى يلعنوه، والناكح حليلة جاره"
Dari Anas bin Malik, dari nabi saw, bersabda; Ada tujuh golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat, tidak disucikan, dan mereka tidak dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang beramal ( shalih ), serta dimasukkan ke dalam neraka pertama-tama, kecuali apabila mereka telah bertaubat, jika mereka bertaubat maka Allah akan menerima taubat mereka. 1) orang yang menikah dengan tangannya ( masturbasi ), 2) pelaku ( masturbasi ), 3) korban ( masturbasi ), 4) pecandu khamr ( minuman keras ), 5) orang yang memukul kedua orangtuanya sehingga mereka minta tolong, 6) orang yang menyakiti tetangganya sehingga mereka melaknatnya, 7) orang yang berzina dengan istri tetangganya ( al-Hasan bin Arafah, dikutip oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, hadis ini oleh Ibnu katsir dinyatakan dla’if karena ada rawi yang bernama Maslamah bin Ja’far. Oleh al-Azdi dia dinilai dla’if, ada pula yang menilai majhul, tetapi Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam daftar orang-orang yang tsiqah )
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
3.      CARA MENGATASI MASTURBASI
 Cara-cara untuk mengatasi kecanduan masturbasi itu diantaranya sepuluh langkah berikut ini.
1)      Yang terpenting, yakinlah bahwa kau mampu mengatasi masalah ini. Kau sudah mampu menahan diri untuk tidak berzina dengan pacarmu, tentukanlah juga kau mampu menahan diri untuk tidak melakukan onani.
Untuk memperkuat keyakinan diri itu, biasakanlah diri mengucap dzikir yang relevan, seperti: “Tetapi di sisi Allah-lah tempat kembali terbaik.” (QS Ali imran[3]:14)
2)      Cari tahulah apa saja keadaan-keadaan dirimu yang memicu dirimu membiasakan diri melakukan masturbasi. Misalnya, kau biasa bermasturbasi setiap kali merasa kesepian, bosan, atau tertekan (stres). Kalau memang begitu, waspadalah dirimu setiap kali berada dalam keadaan begitu.
3)      Temukanlah sebab-sebab mengapa kau mampu menahan diri untuk tidak berzina dengan pacarmu. Lalu berlakukanlah hal-hal yang relevan dengan kasus kebiasaan masturbasimu. Misalnya, kalau kau mampu menahan diri untuk tidak berzina dengan pacarmu karena kau menghargai dirinya setinggi-tingginya, maka hargailah juga dirimu sendiri setinggi-tingginya.
4)      Hindari menyendiri. Selalulah bersama orang lain (yang tidak membangkitkan rangsangan seksual)
5)      Di tempat tidur, singkirkanlah jauh-jauh guling dan barang-barang lain yang dapat kau gosok-gosokkan ke alat kelamin. Selain itu, pakailah celana dan baju tertentu yang membuatmu sulit bermain-main dengan alat kelaminmu.
6)      Di manapun, hindari pornografi atau pun semi porno. Jagalah pandangan mata dan pendengaran telingamu dari segala yang membangkitkan birahi.
7)      Setiap kali bangun tidur, segeralah bangkit dengan penuh antusias. Jangan bermalas-malasan.
8)      Sibukkanlah dirimu dengan berbagai aktivitas yang kau sukai dan jauh dari rangsangan seksual. Utamakanlah aktivitas yang dilakukan bersama orang lain.
9)      Sibukkanlah juga pikiranmu dengan berbagai hal yang kau sukai dan jauh dari rangsangan seksual.
10)   Bila perlu, mintalah bantuan profesional dari ahlinya, seperti psikolog dan psikiater.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar